Kamis, 24 Oktober 2013

PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK



Di dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 diatur di pasal 16 mengenai Pemebetulan Ketetapan Pajak. Pasal 16 ayat 1 berbunyi sebagai berikut : " Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan"
Pembetulan dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a.    Surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b.    Surat Tagihan Pajak;
c.    Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
d.   Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
e.    Surat Keputusan Pembetulan;
f.     Surat Keputusan Keberatan;
g.    Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
h.    Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
i.      Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
j.      Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

Ruang lingkup pembetulan yang diatur terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a.    kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
b.    kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
c.    kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.

Pengertian ”membetulkan” pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak. Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima

Apabila jangka waktu sebagaimana telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan. Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.  Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak .


Dari Pasal 16 KUP dapat diketahui bahwa Pembetulan Ketetapan Pajak   tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Jika terdapat persengekataan maka Pembetulan Ketetapan Pajak tidak memenuhi ketentuan secara formal. Ketetapan Pajak tersebut dapat diajukan keberatan kemudian banding atau langsung melalui gugatan.

Rabu, 23 Oktober 2013

BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN DAN PENYAMPAIAN SPM PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 SERTA BENTUK BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26



Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan peraturan PER - 14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang berlaku 1 Januari 2014. 
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini terdiri dari:
a.    Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721);
b.    Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-I);
c.    Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-II);
d.   Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-III);
e.    Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-IV);
f.     Daftar Biaya - (Formulir 1721-V);
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I PER - 14/PJ/2013

Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang ditetapkan terdiri dari:
a.    Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) atau Pasal 26 - (Formulir 1721-VI);
b.    Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-VII);
c.    Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala - (Formulir 1721-A1);
d.   Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya - (Formulir 1721-A2);
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II PER - 14/PJ/2013
Tata cara pengisian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III PER - 14/PJ/2013.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat berbentuk:
a.    formulir kertas (hard copy); atau
b.    e-SPT.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy) maupun e-SPT dapat digunakan oleh Pemotong yang:
a.    melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
b.    melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
c.    melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
d.   melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT wajib digunakan oleh Pemotong yang:
a.    melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
b.    melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
c.    melakukan pemotongan PPh Pasal 21(Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
d.   melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.
Dalam hal SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), bentuk, isi, dan ukuran SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini tidak boleh diubah. Dalam hal SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 disampaikan dalam bentuk e-SPT, Pemotong harus menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pemotong yang telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) untuk masa-masa pajak berikutnya.

Pemotong dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam hal SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam hal wajib menggunakan e-spt, namun  tidak disampaikan dalam bentuk e-SPT.  Pemotong dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam hal telah menggunakan e-spt namun kembali menggunakan hardcopy. Pemotong tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dapat disampaikan oleh Pemotong dengan cara:
a.    langsung ke KPP atau KP2KP;
b.    melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP;
c.    melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
d.   e-filing yang tata cara penyampaiannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang disampaikan oleh Pemotong dengan cara sebagaimana dimaksud di atas huruf a, b dan c meliputi SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang berbentuk:
a.    formulir kertas (hard copy); dan
b.    e-SPT yang disampaikan dalam media elektronik.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) tidak perlu dilampiri dengan:
a.    Formulir 1721-I dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap, Penerima Pensiun, Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya;
b.    Formulir 1721-II dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan Pasal 26 dengan menggunakan Formulir 1721-VI;
c.    Formulir 1721-III dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan menggunakan Formulir 1721-VII;
d.   Formulir 1721-IV dalam hal tidak ada penyetoran dan pemindahbukuan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 dengan menggunakan SSP dan Bukti Pbk;
e.    Formulir 1721-V dalam hal Pemotong wajib menyampaikan SPT Tahunan;
f.     Formulir 1721-VI;
g.    Formulir 1721-VII;
h.    Formulir 1721-A1;
i.      Formulir 1721-A2;

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT harus disampaikan dengan disertai Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak sampai dengan Masa Pajak November 2013 yang dilakukan sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak Desember 2013 yang dilakukan:
a.    sampai dengan tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26;
b.    setelah tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak No 14 tahun 2013 mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014.

Pokok-pokok perubahan antara lain:
a.    Formulir 1721-I harus dilapor tiap bulan
b.    Formulir 1721-IV untuk daftar SSP dan NTPN
c.    Ada perubahan detail pegawai di 1721-A1
d.   Format standard penomoran Bukti Potong
e.    Kode objek pajak
f.     Kode Negara domisili